Sumber dan Konsentrasi PAH di Sedimen
PAH pada sedimen merupakan PAH yang lebih banyak berasal dari hasil pirolisis maupun masukkan antrophogenic, meskipun juga terdapat PAH yang berasal dari atmosfer. Hasil pirolisis mengakibatkan sedimen memiliki konsentrasi PAH secara alami, namun hal ini berbeda dengan PAH yang merupakan masukkan antrophogenic. Neff (1979) mengklasifikasikan PAH berdasarkan sumbernya menjadi 2, yaitu :
1. Fosil yang tidak terbakar membentuk PAH dengan jumlah cincin kurang atau sama dengan (≤) 3 dengan proporsi alkyl tinggi
2. Hasil pirolisi fosil berupa PAH dengan jumlah cincin lebih atau sama dengan (≥) 4
PAH berasal dari 3 proses, yaitu pirolisis, petrogenik (pembentukan batuan), dan sumber diagenetik yang berlangsung dalam jangka waktu pendek. Pirolisis dan petrogenik menghasilkan PAH yang memiliki 3, 4, dan 5-6 cincin PAH. PAH dengan 3 cincin dihasilkan oleh proses petrogenik, sedangkan PAH dengan 4 dan 5-6 cincin oleh proses pirolisis (Muri dan Wakeham, 2009).
Konsentrasi PAH di lingkungan perairan sangat dipengaruhi oleh tingkat solubilitas dan keberadaan gugus nonpolar yang bersifat hidrofobik. Solubilitas PAH cenderung rendah, sehingga PAH cenderung berikatan dengan partikel organik dan anorganik dibandingkan berada dalam bentuk terlarut. Ikatan PAH dengan partikel mengakibatkan terjadi proses koagulasi, berat partikel makin bertambah dan kemudian jatuh ke sedimen. Semakin besar ukuran partikel maka makin banyak pula PAH yang berasosiasi dan makin tinggi konsentrasi PAH yang mengalami sedimentasi. Hal tersebut mengakibatkan konsentrasi PAH di sedimen lebih besar dibandingkan PAH di kolom air
Selain koagulasi partikel, konsentrasi PAH juga dipengaruhi oleh musim. Bouloubassi et al. (2006) menjelaskan bahwa saat musim semi dan panas, distribusi PAH didominasi oleh PAH yang memiliki berat molekul kecil, seperti phenathrene dan turunan alkylnya, dan PAH berat molekul sedang (sekitar 202), seperti fluoranthene dan pyrene. Pengendapan koagulasi PAH pada musim dingin didominasi PAH dengan berat molekul tinggi (≥ 252), terutama benzofluoranthene dan indeno[1,2,3-cd]pyrene. Hal tersebut diakibatkan adanya perbedaan suhu saat proses pirolisis terjadi, dimana bila pirolisis terjadi pada suhu yang tinggi, proses tersebut akan membentuk PAH dengan struktur yang sederhana. Demikian pula sebaliknya, pada suhu yang rendah, PAH yang dihasilkan akan menghasilkan gugus alkyl yang lebih panjang dan banyak. Keberadaan gugus alkyl tersebut, akan mengakibatkan kemampuan PAH untuk agregasi semakin tinggi dan partikel asosiasi yang dihasilkan akan semakin besar, sehingga PAH yang terbentuk adalah PAH dengan berat molekul besar (Neff, 1979)
Spesiasi PAH di Sedimen
Spesiasi PAH pada sedimen sangat dipengaruhi oleh kompleksitas sifat fisiokimia jenis PAH, sumber PAH, TOC (Total Organic Carbon), dan proses-proses yang mempengaruhi degradasi PAH. Sedimen yang terkena pengaruh runoff umumnya memiliki PAH dengan konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan sedimen yang tidak terkena runoff. Peningkatan TOC dalam sedimen akan menyebabkan meningkatnya konsentrasi PAH dalam sedimen. Mengenai TOC, Opuene et al. (2007) menjelaskan bahwa terdapat hubungan linier antara TOC dan PAH pada sedimen, bahkan TOC mempengaruhi distribusi PAH dalam sedimen.
Pada umumnya, PAH yang memiliki berat molekul besar akan memiliki proporsi yang besar pula dalam rasio total PAH di sedimen. PAH yang terdapat pada permukaan sedimen juga akan berbeda dengan PAH pada sedimen dalam, hal ini karena adanya perbedaan formasi diagenetik yang terjadi dalam sedimen. PAH yang terdapat dalam sedimen, merupakan PAH yang memiliki berat molekul lebih besar dibandingkan PAH pada kolom air. Hal tersebut karena makin ringan molekul PAH, maka makin mudah molekul tersebut mengalami degradasi. Selain itu, PAH pada sedimen cenderung sedikit atau bahkan tidak mengalami oksidasi biologi atau fotooksidasi yang dapat mengakibatkan berkurangnya berat molekul PAH (Qiu et al., 2009).
Distribusi jenis-jenis PAH secara vertikal pada sedimen tidak hanya menunjukkan proses yang terjadi dalam sedimen, namun juga menunjukkan sumber PAH dan waktu akumulasi PAH terjadi. Penelitian Okuda et al. (2002) menunjukkan adanya dominasi benzo(ghi)perylene pada permukaan sedimen yang menunjukkan adanya dominasi sumber polutan PAH dari asap otomotif. Jenis PAH ini dianalisa dengan menggunakan bantuan isotop yang memberikan hasil bahwa akumulasi PAH tersebut terjadi pada tahun 1990.
Secara vertikal, dominasi PAH terjadi pada kedalaman tertentu dan jenis tertentu pula. Meski demikian, PAH terbanyak ditemukan pada permukaan hingga kedalaman 12 cm, dan PAH paling sedikit pada kedalaman 90-93 cm. Setiap jenis PAH mampu menunjukkan tingkat akumulasi, sumber pencemar maupun proses yang terjadi dalam sedimen, contohnya adalah perylene. Perylene merupakan hasil diagenesis alami melalui transformasi akhir pada awal diagenesis. Kawka dan Simoneit (1990), Jenkins et al. (1996), dan Simoneit dan Fetzer (1996) dalam Bakhtiari et al. (2009) menjelaskan bahwa hanya perylene yang berukuran kecil yang berasal dari pemaparan bahan organik pada suhu tinggi. Konsentrasi perylene meningkat seiring dengan bertambahnya kedalaman, menunjukkan bahwa perylene terbentuk dalam kondisi anoxic dan perylene tidak mengalami transpor menuju dan dari sedimen, melainkan terbentuk setelah terjadi deposisi (Orr dan Grady, 1967; Brown et al., 1972; Aizenshtat, 1973; Ishiwatari et al., 1980; Wakeham et al., 1980a,b; Heit et al., 1981; Gschwend et al., 1983; Wilcock dan Northcott, 1995; Lipiatou et al., 1996; Fernández et al., 1996; Silliman et al., 1998,2000,2001; Soclo et al., 2000; Grimalt et al., 2004; Luo et al., 2006; Unlu dan Alpar, 2006; dalam Bakhtiari et al., 2009)
Pada umumnya, PAH yang terdiri dari 5 cincin mendominasi komposisi PAH pada sedimen secara vertikal, menandakan bahwa jenis PAH ini lebih bersifat resisten terhadap degradasi microbial, selain disebabkan karena rendahnya solubilitas PAH yang memiliki berat molekul kecil (Bakhtiari et al., 2009).
Dominasi PAH yang memiliki 5 cincin, juga dikemukakan oleh Mohammed et al. (2009) yaitu konsentrasi PAH terendah pada sedimen adalah PAH yang memiliki 2 cincin (naphthalene, acenaphthalene) dan konsentrasi tertinggi adalah PAH dengan 5 cincin (benzo[b]fluoranthene, benzo[k]fluoranthene, benzo[a]pyrene). Bila dilakukan pengurutan, dominasi jenis PAH pada sedimen dari yang terbanyak adalah PAH 5 cincin, 4 cincin (fluoranthene, pyrene, benzo[a]anthracene, chrycene), 6 cincin (dibenzo[a,h]anthracene, benzo[ghi]pyrelene, dan indeno[1,2,3-cd]pyrene), 3 cincin (acenaphthene, fluorine, phenanthrene, anthracene), 2 cincin (naphthalene, acenaphtalene).
Meskipun demikian, dominasi jenis-jenis PAH secara vertikal dalam sedimen tidak sama satu daerah dengan daerah lainnya, mengingat kompleksitas proses alam yang terjadi juga berbeda di setiap daerah. Selain itu, komposisi PAH tersebut juga tergantung pada sumber masukkan PAH, jarak sumber dengan lokasi PAH, dna musim yang mempengaruhi fotooksidasi, volatilisasi, dan tingkat degradasi (Mohammed et al., 2009), dan jenis sedimen pada daerah tersebut (Witt, 1995). Sebagian besar PAH berasosiasi dengan sedimen yang memiliki ukuran partikel kecil dan sedang,
Kannan et al. (1999) menemukan bahwa di Jepang, benzo[b]fluoranthene mendominasi pada daerah permukaan sedimen hingga kedalaman 10 cm, dengan proporsi 15-20% dari total PAH yang ditemukan. Pada kedalaman 10-70 cm, lebih didominasi oleh jenis indeno(1,2,3-cd)pyrene, dan pada kedalaman di bawah 70 cm didominasi oleh PAH jenis phenanthrene. Komposisi vertikal tersebut tidak dijelaskan penyebabnya oleh Kannan et al. Komposisi tersebut berbeda dengan komposisi PAH di sedimen Danau Chini, Malaysia, dimana hingga kedalaman 6 cm naphthalene lebih mendominasi, kemudian perylene hingga sedimen dalam.
Rata-rata konsentrasi perylene bertambah seiring dengan bertambahnya kedalaman menunjukkan sumber perylene pada sedimen adalah dari erosi hujan dan transportasi hasil digesti mikroba, selain adanya tambahan pembentukan perylene secara diagenesis pada bagian bawah sedimen. Secara umum, hasil komposisi ini berbeda dengan komposisi PAH di sedimen pada lintang tinggi, namun untuk daerah tropis dan subtropics, komposisi PAH cenderung serupa (Bakhtiari et al.,2009)
DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiari, A. R., Zakaria M. P., Yaziz M. I., Lajis M. N. Hj., Bi, X., dan Rahime, M. C. A. 2009. Vertical distribution and source identification of polycyclic aromatic hydrocarbons in anoxic sediment cores of Chini Lake, Malaysia : Perylene as indicator of land plant-derived hydrocarbons. Applied Geochemistry (24) : 1777–1787
Bouloubassi, I., Fillaux, J., dan Saliot, A. 2001. Hydrocarbon in surface sediments from the Changjiang (Yangtze River) Estuary, East China Sea. Marine Pollution Bulletin (42) : 1335-1346
Kannan, K., Yamashita, N., Villeneuve, D. L., Hashimoto, S., Miyazaki, A., dan Giesy, J. P. 1999. Vertical profile of dioxin-like and estrogenic potencies in a sediment core from Tokyo Bay, Japan. Organohalogen Compounds (42) :33 – 37
Mohammed, A. B., Al–Taee, M. M. S., dan Hassan, F. M. 2009. The study of some PAHs compounds in Euphrates River sediment from Al-Hindiya Barrageto Al- Kifil City – Iraq. CSASC English Ver. (4) : 216-230
Muri, G., dan Wakeham, S. G. 2009. Source assessment and sedimentary record of pyrolytic polycyclic aromatic hydrocarbons in Lake Bled (NW Slovenia). Acta Chim. Slov. (56) : 315-321
Neff, J. M. 1979. Polycyclic aromatic hydrocarbons in the aquatic environment. London, Applied Science Publishers Ltd.
Opuene, K., Agbozu, I. E., Ekeh, L. E. 2007. Identification of perylene in sediments : occurance and diagenetic evolution. Int. J. Environ. Sci. Tech (4) : 457-462
Okuda, T., Kumata, H., Naraoka, H., Ishiwatari, R., dan Takada, H. 2002. Vertical distributions and δ13C isotopic compositions of PAHs in Chidorigafuchi Moat sediment, Japan. Organic Geochemistry (7) : 843-848
Qiu, Y. W., Zhang, G., Liu, G. Q., Guo, L. L., Li, X. D., Wai, O. 2009. Polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs) in the water column and sediment core of Deep Bay, South China. Estuarine, Coastal and Shelf Science (83) : 60–66
Witt, H. 1995. Polycyclic aromatic hydrocarbons in water and sediment of the Baltic Sea. Marine Pollution Bulletin (4-12) : 237-248
Diambil dari :
Tugas MK. Dinamika Polutan
Pengampu : Prof. Dr. Harpasis S. Sanusi (2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar